News  

Dagelan Mentri ATR/BPN Nusron wahid , Jika Salah Tafsir Bisa Menyesatkan Masyarakat Desa.

MUSI RAWAS, PETISI RAKYAT NEWS

Pegiat dan Aktivis Agraria Junaidi.S sekaligus Ketua BPD Desa Anyar,Kecamatan Muara Lakitan Kabupaten Musi Rawas, Propinsi Sumatera Selatan yang kerap hadir  mengadvokasi permasalahan masyarakat terkhusus persoalan yang menyangkut konflik agraria/lahan dengan pihak Perusahaan.

Kepada awak media kami, Kamis (28/8)2025) Junaidi S. menyatakan penolakan keras atas ucapan dan kebijakan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN (ATR/BPN) Nusron Wahid yang menyebut “Semua tanah milik negara”.  Pernyataan tersebut dinilai mencederai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, mengkhianati amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta melukai hati rakyat Indonesia, terutama petani dan masyarakat adat yang selama ini menjadi korban ketidakadilan agraria.

Eks Ketua Abpednas Propinsi Sumsel ini menyatakan bahwa tanah di Indonesia bukanlah milik negara, melainkan milik rakyat sesuai dengan UUPA 1960 dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) dengan jelas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Frasa “dikuasai negara” berarti negara diberi mandat rakyat untuk mengatur pemanfaatan tanah, bukan memilikinya secara mutlak.

UUPA 1960 pun menegaskan bahwa negara bertindak sebagai pengatur dan pengawas, sementara tanah pada hakikatnya adalah milik rakyat dengan fungsi sosial yang wajib diperhatikan.

Ucapan Nusron Wahid yang menyatakan bahwa seluruh tanah rakyat adalah milik negara, menurut Ketua Anyar , justru menghidupkan kembali semangat kolonial Domein Verklaring yang pernah digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk merampas tanah rakyat pribumi. Padahal, UUPA 1960 secara tegas menghapus asas kolonial tersebut dan menggantinya dengan konsep Hak Menguasai Negara yang menekankan kepentingan rakyat. Pernyataan Menteri ATR/BPN itu bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga mengingkari sejarah panjang perjuangan bangsa dalam membebaskan diri dari praktik kolonialisme di sektor agraria.

Lebih jauh, Ia sebagai Para Legal Desa Anyar, menegaskan bahwa ucapan Nusron sangat melukai hati para petani dan masyarakat adat yang selama puluhan tahun menghadapi ketidakadilan agraria berupa perampasan tanah oleh korporasi, kriminalisasi, hingga pengabaian hak-hak ulayat. Bagi masyarakat adat, ucapan itu seakan menegasikan eksistensi tanah warisan leluhur yang masih sering dicap sepihak sebagai tanah negara atau kawasan konsesi perusahaan. Hal ini berpotensi melanggengkan konflik agraria di berbagai daerah. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara, yang seharusnya menjadi landasan pengakuan lebih luas atas tanah adat.

Atas dasar itu, Junaidi menyatakan mosi tidak percaya terhadap Nusron Wahid dan menilai ini jangan lagi di buat” dagelan atau permainan ucapan sebagai menteri apalagi masih menjabat Menteri ATR/BPN. Menurutnya, seorang pejabat publik yang berpandangan bahwa tanah rakyat adalah milik negara telah mengkhianati konstitusi dan menggugurkan kepercayaan rakyat.

Ia berharap Presiden Republik Indonesia agar mengevaluasi kinerja Nusron Wahid, demi menjaga konsistensi pemerintah dalam agenda reforma agraria serta untuk menghentikan polemik yang kian melukai hati petani dan masyarakat adat yang ada di pedesaan di Republik Indonesia.

Lebih lanjut, Junaidi menyerukan agar pemerintah segera memulihkan hak-hak petani dan masyarakat adat, sekaligus mempercepat pelaksanaan reforma agraria sejati di Indonesia. Reforma Agraria, menurutnya tidak boleh lagi ditunda atau diputarbalikkan. Pemerintah dituntut untuk menyelesaikan konflik agraria secara adil, mengakui tanah petani dan masyarakat adat, mendistribusikan tanah terlantar dan tanah berlebih kepada petani tak bertanah, serta memberdayakan rakyat dalam pengelolaan sumber daya agraria. UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/2001 telah menegaskan mandat reforma agraria sebagai jalan menuju keadilan sosial. Oleh karena itu, setiap kebijakan harus dijalankan dengan prinsip “tanah untuk rakyat”, bukan sebaliknya menjadi legitimasi. (Rls/Red)